London

renjun keluar dari salah satu cafe yang sudah akan tutup sebentar lagi, kala kakinya menapak pada jalanan kepalanya mendongak untuk menatap langit malam London, angin malam menyapu kulit wajahnya, poninya yang mulai panjang ikut tersapu, blazer yang di kenakannya tak cukup hangat untuk musim dingin seperti saat ini.

syal yang selalu di bawanya saat musim dingin di lilitkan pada lehernya lalu melangkahkan tungkai kecilnya.

para pejalan kaki masih berlalu lalang, di temani lampu jalan yang selalu menyala di malam hari tiba, renjun mendesis karna kedinginan.

salah sendiri tidak mengenakan pakaian yang lebih tebal saat keluar malam di musim dingin.

deerrtttt

deerrttt

deerrtttt

merasa ponselnya bergetar di dalam saku blazer, dengan segera dia merogoh dan melihat nama yang tertera di sana

senyumnya terulas saat membaca nama si penelpon, Renjun menggeser icon hijau pada ponselnya lalu menempelkan pada telinga.

“Halo” suara dari sebrang sana terdengar samar karna suara ramai dari sekitar lebih mendominasi

“ya halo” renjun menyahuti sambil terus melangkah

“sayang, kamunya lagi di mana?”

“lagi di luar, mau balik ini”

“udah malem kok masih di luar? ntar sakit loh”

“ya makanya ini mau balik” tungkainya berhenti pada pinggir jalan tol, menunggu hingga kendaraan yang sedang berlalu lalang berkurang, agar bisa menyebrang

“cepetan pulangnya”

“iya ih”

“kangen”

“siapa yang kangen?”

“aku loh kangen sama kamu, udah seminggu ga ketemu, mau peluk”

“Na Jaemin, jangan lebay ih”

“loh? siapa yang lebay.. orang lagi kangen juga, emang kamunya ga kangen apa?”

“ya kangen sih, tapi ga lebay kayak kamu” tuturnya, padahal pipinya sendiri sudah bersemu

“pasti kamu lagi malu yah” tebak Jaemin dari sebrang sana

“dih! mana ada”

“ya emang, ngapain coba senyum senyum gitu di tempat umum? kayak orang gila ih”

“ish kamu tuh kenapa sih? orang aku ga senyum dari tadi, kamu tuh yang gila” Renjun yang tadinya senyum senyum tak jelas berubah cemberut

“tuhkan, kenapa cemberut lagi?”

raut wajah Renjun kini berubah, keningnya mengerut heran, mengapa Jaemin tau segala gerak-gerik nya? jangan bilang Jaemin mengirim mata mata untuk memantaunya?

mengabaikan pertanyaan Jaemin, kepala Renjun menolah ke kanan, lalu menoleh ke kiri namun tak ada yang aneh di rasanya, kini pandangannya kembali melurus pada jalan di sebrang sana, keningnya sontak mengerut dalam saat melihat sosok yang di kenalnya

oh? mungkin saja dirinya salah lihat, netranya mengerjab beberapa kali untuk memastikan bahwa sosok yang dia lihat di sebrang sana bukanlah sosok yang dia kenal namun nihil, sosok yang sedang tersenyum padanya kini tersenyum lebih lebar menampakkan giginya

“jaemin?” lirihnya, yang masih bisa di dengar jaemin dari sebrang sana melalui telpon

“kenapa sih? keliatan kaget banget.. kayak liat hantu aja”

“no..no..no... Jaemin, a-aku liat kamu, ih? kamu punya kembaran yah?”

“kembaran gimana? kan kam-”

-Brukkk belum usai ucapan jaemin, telpon yang di genggam renjun jatuh karna tak sengaja di senggol

“ih.. tu orang jalan gimana sih? galiat apa orang lagi nelpon? kan jatoh” celotehnya berdecak pinggang memandang punggung orang yang menyenggolnya, setelah mengomel pada angin lewat barulah dia berjongkok untuk memungut ponsel nya

“tuh kan retak” bibirnya mencebik masih dalam posisi duduk berjongkok sambil mengelus layar hpnya yang kini retak walau tak retak seberapa

“stand up” suara lain di sertai uluran tangan menyadarkan Renjun, sejenak dia memandangi tangan yang terulur di depannya, lalu tatapannya beranjak naik pada wajah pemilik tangan

“jaemin?” Renjun sedikit memekik, keterkejutannya tak dapat dia tutupi

“jangan ribut, di denger orang malu loh, ayo sini berdiri” Jaemin meraih tangan yang lebih mungil lalu menariknya untuk bangkit

“kamu kok bisa ada di sini?” tanya Renjun masih tak percaya dengan keberadaan Jaemin

“ya karna bisa” jawabnya enteng

“ih nyebelin”

“hpnya rusak yah? coba aku liat” tanpa persetujuan si empu, jaemin langsung mengambil ponsel Renjun untuk di cek

“oh.. ga parah kok ini, masih bisa di perbaikin”

“sekarang kamu jawab, kenapa bisa ada di sini?”

“kan tadi udah”

“aku lagi serius loh na jaemin”

“hehe.. aku tuh kemaren dulu abis nengokin abahnya cuan, kebetulan dia tinggal di sekitaran sini juga, abahnya lagi sakit keras jadi cuan aku temenin deh, soal biaya dia yang tanggung sih”

“jadi kamu di sini udah beberapa hari?” pertanyaan Renjun di jawab anggukan oleh Jaemin

“kok ga bilang”

“gapapa, biar surprise”

“surprise matamu, terus kamu nginep di mana?”

” ya di rumah cuan lah”

“dihh.. yaudah sana pergi kamu, ngeselin banget sih jadi orang, dateng ga bilang-bilang, gaada nengokin aku lagi”

“dihh kok ngambek?”

“au ah.. sana, aku mau pulang istirahat, sana kamu pulang sama cuan cuan itu”

“aku di usir?”

“iya”

“padahal aku mau nginep di tempat kamu tadinya, kangen banget aku sama kamu”

“yaudah ayo balik” Renjun berjalan mendahului Jaemin, kakinya di sentak sentakkan sambil mengomel ngomel tak jelas, Jaemin yang melihat hanya tertawa kecil melihat kelakuan si kekasih yang bak anak kecil.


“na”

“eum?”

“dingin”

“mau minum yang anget-anget?”

“nggak”

“mau apa dong?”

“nana dingin”

“iya sayang dingin”

“dingin” Renjun terus merengek dingin saat tiba di kediamannya, usai bersih-bersih dan berganti pakaian dia langsung bergelung dengan selimut tebalnya

Jaemin yang sementara mengganti baju kini menghampiri si pujaan hati

“ya kamu mau nya apa atuh? siapa suruh coba keluar ga make baju tebel, udah tau cuacanya dingin gini” omelnya ikut masuk ke dalam selimut, mengambil posisi senyaman mungkin

“iya tau aku salah, kamu gausah ngomel napa?” cicit Renjun, pasalnya Jaemin itu sangat jarang marah padanya, sekalinya marah serem banget

“aku ga marah yang, cuma ngasih tau.. kamu jangan nangis dong” lengan Jaemin yang bebas menarik Renjun dalam dekapannya agar lebih dekat

“aku ga nangis yah” ujarnya membalikkan badan agar berhadapan langsung dengan Jaemin yang baring menghadap dirinya

“masa sih? itu idung udah merah gitu..”

“Jaemin ih” Renjun menelusupkan wajahnya di perpatahan leher Jaemin, mengundang gelak tawa si pemilik zodiak Leo

“kamu tuh gemesin banget, pacar siapa sih?” tanyanya bercanda, kini Renjun mendongak hanya untuk menatap Jaemin

“pacar cuan, puas kamu!”

“kok cuan?”

“ya kamu sih, pkk nanya segala”

“hehe, jadi kamu tuh aslinya pacar siapa?”

“pacar orang, kan ga mungkin aku pacaran sama rumput ilalang”

“yeuuu klo di tanya” Jaemin menyentil dahi Renjun gemas

“kamu masih dingin gak?” tanya Jaemin kembali, tangannya masuk menelusup pada pakaian yang di kenakan Renjun, mengusap pelan punggung halus Renjun untuk menghangatkannya

“hu'um, cuaca emang lagi dingin banget”

“kamu tau gak?”

“nggak”

“ya kan aku belum ngasih tau sayang ku”

“apaan?”

“aku sayang banget sama kamu”

“aku juga”

“sayang sama diri kamu?”

“ya sayang sama kamu bodoh”

“tambah cinta nih aku”

“jangan lebay yah na”

“ngga”

Hening melanda, kedua anak muda itu saling berpelukan di atas ranjang, saling bertukar pandang, mengangumi paras satu sama lain

tubuh Renjun melemas saat tangan Jaemin naik merambat pada punggungnya lalu beralih ke perutnya, memberi usapan lembut, menghantarkan sengatan tak kasat mata membuat Renjun pusing seketika

tangan mungilnya dia arahkan pada wajah Jaemin, menelusuri bentuk serupa dewa yunani itu, mengelus pelan rahang tegas yang biasa dia bubuhi kecupan-kecupan ringan

“mau cium, boleh?” celetuk Jaemin di tengah keheningan, Renjun tertawa pelan lalu mengangguk kecil, mengonfirmasi pertanyaan Jaemin

Jaemin tersenyum lebar, dengan senang hati akan dia bubuhkan kecupan di wajah sang kasih

Cup

Cup

Cup

suara kecupan-kecupan ringan menyapa gendang telinga Renjun, dirinya terkikik geli saat Jaemin mengecup dahi, pipi, hingga hidungnya, dan kini Jaemin kembali mengecupnya di bibir

sekali*

dua kali

tiga kali

berulang-ulang hingga kecupan yang mulanya biasa saja menjadi luar biasa, kecupan yang menghantar hawa panas pada diri keduanya

Jaemin mengulum bibir Renjun atas bawah, menelusupkan lidahnya, mejelajahi deretan gigi si mungil, menyapu permukaan mulut yang selalu menjadi candunya

hingga saat Renjun hampir kehabisan nafas barulah dia melepaskan tautannya, membuat benang saliva di antara keduanya membentang.

keduanya saling tatap sebelum terkekeh tak jelas.

“udah malem, tidur gih”

completed